Rabu, 12 Oktober 2011

Ibrahim Sattah Mencari dan Menemukan Tempat

Oleh Hasan Junus

1
ADA sebuah sampiran sebuah pantun lama Melayu yang berbunyi sebagai berikut :
Kalau roboh kota Melaka
Papan di Jawa saya teggakkan


Dan setelah Melaka jatuh direbut Portugis pada tahun 1511 lalu berganti tangan kepada Kompeni Belanda lalu Inggris, Mayor Farquhar meruntuhkan tembok-tembok kota perkasa itu dengan obat bedil. Menurut catatan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi batu-batunya ada yang dibawa ke Betawi dan Riau. Dengan demikian jelaslah bahwa kota di Riau bukan dibangun dengan bahan papan semata. Kota itu ditegakkan di atas fondasi yang tegap kokoh kuat dan kawi.

Lihatlah bagaimana para pendeta dan bentara bahasa dan sastra di Riau mempertahankan kontinuitas berupa karya-karya sehingga mata rantai budayanya tidak terputus yang barangkali sempat membangkitkan iri hati para antropolog. Ratapan panjang para pakar antropologi ialah tentang hilangya suatu mata rantai, yang dalam istilah ilmiah disebut missing link untuk merontruksi riwayat panjang umat manusia.

Raja Ali Haji umpamanya dalam Pengantar bukunya Busta al-Katibin dengan suara gempita menyatakan bahwa “Segala pekerjaan pedang itu boleh dilakukan dengan kalam / Adapun pekerjaan kalam itu tiada boleh dibuat dengan pedang / Dan beberapa ribu dan laksa pedang yang sudah terhunus dengan segores kalam jadi tersarung”. Untuk memperkuatnya ia menyitir pula sebaris syair Parsi yang berbunyi:

Qalam kuyat kaman syahi jahaanam
Kata pena akulah raja di ini dunia
.

Orang-orang asing yang menelitihasil-hasil sastra di Riau tidak puas hanya dengan mempelajari secara mendalam tapi juga menerjemahkannya kedalam bahasa mereka untuk konsumsi orang-orang terdidik di negeri mereka, maka urutan karya Riau yang sudah ditampilkan para sarjana Eropa dapat disusun bermula dari Syair Nasihat karya Raja Ali yang diterjemahkan E Netscher menjadi Raadgeving, karya Raja Ali Raja (bersama Raja Saleha?) Syair Abdul Maluk diterjemahkan oleh P Roorda van Eysinga, karya Raja Ali Haji Bustan al-katibin diterjemahkan van Ronkel, karya Raja Ali Haji Gurindam Dua Belas diterjemahkan oleh E Netscher menjadi De Twaalf Spreukgedichten, Syair Raksi karya Raja Haji Ahmad diterjemahkan oleh H Overbeck, sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri diterjemahkan oleh Harry Aveling dan Toety Heraty Noerhadi dan sajak-sajak Ibrahim Sattah diterjemahkan oleh Jan Eijkelboom, Sapardi Djoko Damono, Toety Harety Noerhadi dan John Mc Glynn. (Tulisan ini dibuat apada 1 Mei 1982 sehingga beberapa karya dari Riau lainnya yang sudah diterjemahkan tidak disertakan. Pada bagian yang tersebut terakhir bahkan sajak-sajak yang berasal dari tradisi lisan Riau pun sudah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa asing).

Ada sebuah keterangan (fiktif) dalam dunia sastra yang menyatakan bahwa sajak sebenarnya tidak dapat diterjemahkan. Pendapat ini tidak akan terus merupakan sebuah “konon” jika orang mengetahui dengan baik batas-batas kemampuan suatu bahasa dan memahami kedalam makna kosa-kata, keluasan, kemampuan, liuk-lentur dan daya pegas bahasa lainnya.
Sebuah sajak Jerman dapat saja diterjemahkan kedalam bahasa Swahili atau bahkan bahasa orang Benin yang miskin sekali kosa-katanya itu dengan memahami kelebihan bahasa Jerman dan kekurangan bahasa Swahili atau bahasa orang Benin, dan sebaliknya. Dan sebuah sajak Indonesia tetaplah dapat diterjemahkan bukan saja kedalam bahasa Arab atau Latin dan Esperanto tetapi juga ke dalam bahasa Eskimo. Conditio qua non untuk terlaksananya pekerjaan ini ialah asal saja si penerjemah mengenal benar roh bahasa-bahasa tersebut. Karena mengenal roh bahasa Melayulah Alesandro Bausani sampai menamatkan bahasa Melayu itu seperti bahasa Itali di Timur.

Dari sekian banyak sastrawan yang berasal dan tinggal di Riau paling tidak ada lima nama yang dapat dinikmati karya-karyanya oleh orang-orang asing yang tidak mengerti bahasa melayu / Indonesia. Ini berarti kawasan sastra itu sudah meluas di luar sempadan geografis dan geokultural.

Lalu jejak yang ditinggalkan oleh berlima itu hendaklah diteruskan oleh pendatang-pendatang selanjutnya yang mungkin orangnya ada dalam ruangan ini.

2
DALAM perjalanannya mencari tempat di cakrawala kesusastraan kita penyair Ibrahim Sattah berdepan dengan banyak rintangan dan halangan yang kadang-kadang keluar dari kawasan sastra. Tidak sedikit sumpah seranah yang direjamkan di tengah wajahnya di samping acungan jempol dari sisi sebelah lain.

Mendatangi sebuah karya seni haruslah dengan diri yang terbuka, lepas dari semua waham wasangka. Dengan telanjang, kata orang Romawi, jangan menghukum (ne jugez pas) kata Andre Gide. Atau seperti yang dikatakan Goethe, setelah dalam embun Tuhan mandikan diri cuci-cuci.
Karena itu alangkah akan bersihnya suatu penilaian jika antara penyair dan pemerhati karya-karyanya yang terbentang jarak. Tapi demi kesaksian historis alangkah beruntungnya orang yang dekat benar dengan sang penyair.

Carl Gustav Jung, psikolog yang amat terkemuka dalam penilaiannya tentang penyair berkata, “Bukan Goethe yang menciptakan Faust, tapi Fauslah yang menciptakan menciptakan seorang Goethe”. Dari pernyataan ini dapat ditarik iktibar terhadap para penyair dan karyanya.
Dengan bekal dari Jung itu marilah kita berkata tentang sastrawan manapun yaitu bukan sang penyair yang menciptakan karya-karyanya tetapi karya-karyanyalah yang mencipkatan sang penyair.

Karya-karya Ibrahim Sattah telah menjadikan ia seorang penyair. Tanpa karya-karyanya mungkin ia hanya seorang anggota Polri atau seorang penerbit buku. Dan tentang karya-karyanyalah kita bertemu disini.

3
ADA dua kutub ekstrim dalam sikap budaya Orang Melayu, yaitu latah dan amuk. Pakar-pakar budaya kita belum ada yang mengambil kedua sikap ini sebagai tajuk penelitian ilmiah.
Seorang peneliti bangsa Perancis Favre menerangkan tentang latah sebagai “Indisposition nerveuse chez les femmes, dans laguelle alles disent tout ce qui leur vient a la bouche”. Sedangkan tentang amuk baik diperhatikan gambaran Stefan Zweig dalam karyanya Die Amoklaeufer yang seperti menyatakan bahwa amuk ialah tindakan manusia Melayu di titik didih di mana perhitungan terakhirnya ialah mati.

Jika kedua sikap di kutub yang bertentangan ini kita terapkan dalam proses penciptaan sastra akan bertemulah kita dengan analogi yang indah dan kokoh yang akan merupakan suatu sumbangan baju dalam kajian ilmu estetika.

Penyair Ibrahim Sattah menjumpai proses di kedua kutub itu. Ia tidak mengambil mantera sebagai sosok awal sajak-sajaknya. Ia berangkat dari kesederhanaan kanak-kanak, yang mempesona oleh wangi dan cemerlang warna-warni dunia, yang muntah oleh bau busuk matahari, yang menggelagak gembira menerima oleh-oleh dari Sang Bapa, yang menggelugut takut ditinggalkan Ibu sendirian dalam kamar berhantu sehingga meraung berteriak, “Mamma!”. Yang gagap mengeja kata-kata, yang lemas dalam gaung gaib guna-guna, yang mencabut jembia untuk mengamuk.

Tapi penyair ini tidak datang seperti meteor, tiba-tiba saja mencuatkan sinar terbakar menerangi cakrawala sastra. Ia merupakan mata rantai yang dengan setia melanjutkan kontinuitas persajakan di sungai Melayu.

Ia datang dengan kerendahan hati seorang kanak-kanak yang bersama teman-teman sebaya menyanyikan bulan:

‘tu bulan ‘tu bintang
wa wa ‘tu pucuk mali-mali

Lalu bertemu dengan panorama lain daripada yang pola karena pandangan menjadi tajam:

menjuntaikan awan
dan
tertegun

Namun akhirnya bersua juga dengan berbagai bentuk kedahsyatan dunia seperti:

wa wa darah siapa yang tumpah
wa wa gapai siapa tak sampai
wa wa hati siapa tak pedih


Ia melawan, ia menentang, ia mengamuk karena tudingan yang menyakitkan hati, barangkali dengan mengatakan seperti ini: Hei elang garang yang bersarang di puncak gunung paling tinggi, jangan nistakan aku, telah kurapah rimba sansauna tempat tak ada naga tak ada singa tak ada rimau tak ada disana, sansauna lebih hebat dari naga lebih bisa dari singa lebih pukau dari rimau, dan walau wa walau wu walau wi …

Lihatlah, seperti seorang pendeta Zen dalam ajaran Buddhisme di Jepang, sang penyair kehilangan kosakata yang tersedia dalam kandungan kamus. Di Jepang sana orang menamakannya Furabo yaitu pendeta dengan jubah tipis menggelebar dalam angin, mabuk dipesona keakraban alam.

Gagap dan bisu sudah Ibrahim. Lalu ia rembaskan pagar-pagar leksikografi, kembali seperti Pithecanthropus Erectus atau Homo Mojokertonensis yang belum mengenal kata-kata. Keadaan seperti itu pernah dikatakan oleh seorang penyair piawai Jerman Frederich Hoelderlin: “Ich verstand der Stille des Aether, der menschen worte verstand ich nie” (aku paham keheningan Aether, bahasa manusia tiada kumerti).

4
SEORANG penyair berkata lewat ngangaan lukanya. Ada luka kecil, ada luka parah, sedemikian parah sampai sudah sipi dengan mati. Ada goresan lalang tajam di kulit, ada sayatan pisau bedah, ada tusukan sembilu yang berdenyut sampai ke hulu hati, ada mata tombak lekat di kaki, ada tikaman belati tepat ditengah dada, ada hentakan kapak membelah kepala.
Orangpun mungkin mendapat luka karena kasih yang amat mendalam. Orang bisa mati hanya karena dihina, dibenci. Dan seorang penyair berkata lewat ngangaan lukanya. Seorang penyair sejati berkata-kata lewat ngangaan lukanya.

Maka terciptalah sajak. Tentu saja ada sajak-sajak kecil dan yang biasa-biasa saja. Ada pula sajak-sajak agung yang dilahirkan dengan perjuangan di depan maut bagaikan melahirkan bayi. Luka-luka jiwa yang besar melahirkan sajak-sajak seperti itu, yang menyeret para penghayat puisi ke dalamnya, yang keluar dari dalamnya setelah mengalami mandi rohani.

Luka-luka itu barangkali ada dalam diri Ibrahim Sattah. Adakah luka di kakinya, luka di tangannya, luka di dada, di kening, di kepala, di hati? Ketika memandang ke langit apakah ia melihat luka di sana? Juga pada angin, pada laut, pada ombak, pada bulan, pada kupu-kupu? Di mana-mana luka, dimana-mana luka? Luka dimana-mana?

Luka-luka manusia dapat kita jumpai pada kata-katanya. Mudahlah kita memahami ucapan Samuel Beckett ketika ia berkata tentang karyanya, “Kata-kataku adalah airmataku, mata dan bibirku”. Kata-kata yang dipakai oleh seorang penyair ialah kata-kata yang kedua menurut ajaran mencapai satori atau pencerahan dalam Zen Buddhisme yang merupakan gapaian terakhir seorang pengamal semacam sufisme dalam agama Islam.

Jika seandainya saya seorang Belanda yang tidak mengerti bahasa Indonesia, saya akan dapat membaca sajak-sajak Ibrahim Sattah melalui terjemahan yang dilakukan oleh Jan Eijkelboom dan Toeti Heraty Noerhadi. Sekiranya saya seorang asing yang berbahasa Inggeris, entah dari Inggeris , Kanada, Amerika Serikat, Hongkong, Singapura, dan lain-lain negeri yang memakai bahasa Inggeris, saya dapat menikmati sajak “Kau” melalui terjemahan Supardi Djoko Damono bersama Mc Glynn seperti di bawah ini:

You

claw of coral claw of you claw of sea claw of you
claw of waves claw of light
sound of coral sound of you sound of sea sound of you
sound of waves sound of you
why is it lost
where
why is it far
where
why is it erect
where
why is it upright
where
why is it
where
why is it silent
where


come you come light come sea
come waves come coral
can you
can light
can sea
can waves
can coral
can island
you can not
light can not
sea can not
waves can not
island can not
earth can not
not Adam
not me
not your servants
reaching up to the sky

seeking
seeking nirvana
seeking na
seeking ni
seeking no
seeking na ni no
seeking no ni na
that’s only na
that’s only ni
that’s only no
that’s only na ni no
that’s only no ni na

claw of coral claw of you claw of sea calw of you
claw of waves claw of light
go home light
go home you
go home coral
go home sea
go home waves
go home you
go home light

left only me but
don’t leave me behind
go home you go home you go home you
do home you
me
in the direction
of You

5
JEDA dari amuk, orang akan merasakan ngilu sengatan sembilu, karena sudahlah menjadi fitrat manusia selamanya ingin menjadi bersih, mandi dalam embun Tuhan cuci-cuci. Penyair mengucapkan kata-kata sakral dan kudus, Bismillah yang sakti itu.

Meskipun dengan tegas Allah berfirman Wa ma ‘allamnahusy syi’ra (Dan bukan syair yang kami ajarkan ini) tapi ditinjau menurut jalan dan garis nahu, syaraf, mantiq, bayan, ma’ani dan sebagainya, ayat-ayat Al-Qur’an adalah maha puisi. Keanehan yang dijumpai orang dalam ayat-ayatnya dapat diterangkan jika orang memahami makna kedalaman puisi. Misalnya:

Wat tin
Waz zaitun
Wa turisinina
Wa hazal baladil amin

Demi pohon Tin
Demi pohon Zaitun
Demi bukit Tursina
Dan inilah negeri yang aman

Kaidah “Economic of words” dari keempat ayat itu memperlihatkan petunjuk tentang kekuatan puisi. Tak perlu ada keterangan lebih dari itu. Namun para penafsir seperti terdapat pada Tafsir Al-Jalalain yang memberitahu kita bahwa dengan ayat pertama terangkum seluruh riwayat Nabi Adam, yang kedua dengan Nuh, yang ketiga Musa dan keempat tentang Ibrahim di Mekkah sebagai negeri yang aman.

Tak pula terdapat keterangan apakah Ibrahim Sattah pernah menekuni mantera secara mendalam berikut rajah-rajah dalam benda-benda seperti wafaq dan tangkal. Tapi tipografi sajak-sajaknya menceritakan kepada kita bahwa bentuk dan sosok purba itu kelihatan dari penampilan beberapa sajaknya.

Juga tentang improvisai tampaknya Ibrahim Sattah tidak berhutang kepada kebudayaan Barat. Warisan tempat akar batang tubuh Ibrahim Sattah telah menyediakan semua ini.

Kita sangat beruntung sekali dapat menyaksikan penyair Ibrahim Sattah itu sendiri membentangkan karyanya. Hal ini saja sudah merupakan penjelasan yang seterang-terangnya karena seorang penyair tidak usah dan tidak perlu memberitahu secara verbal. Keterangan yang direntang luas sama sekali bukan pekerjaan sastrawan. Sekali sang penyair muluk berteori maka kaki, tangan dan hatinya bisa terbelenggu. Memang kadang-kadang ada penyair yang tak sabar menunggu datangnya seseorang yang benar-benar memahaminya. Tapi sebenarnya baiklah ia bersabar walaupun ia menjadi seperti Hoerderlin yang harus menunggu lama sekali.

Pekanbaru, 1 Mei 1982

Tidak ada komentar:

Posting Komentar