Rabu, 12 Oktober 2011

Haruslah Dibayangkan Sisifus Bahagia

Oleh Samson Rambah Pasir


BULAN mencarak rancak di buana raya, penuh birahi merindu bumi. Bila daku punya tangan, kupeluk dikau, Kanda: kuruah rindu yang tumpuk bermilyar tahun. Sementara bintang-gemintang berkedap-kedip menyeru bumi, “Engkau yang ibarat batu safir molek, alangkah beruntung dikau, Dinda: tempat bersemayam beragam kehidupan.”
Sejauh mata memandang laut membentang mencari kaki langit. Perahu kami terombang-ambing dimain ombak. Teman-temanku, ada yang bersiul sembari bersandar di lambung perahu. Ada juga yang masih tagih melempar pancing, menarik nilon yang diulur, mengganti umpan, menaikkan kerapu, kakap, tenggiri satu-persatu. Sedang aku terjebak menyapa bulan, menatap buana raya tiada bertepi, menyaksi gemintang dan kerut gelombang. Mataku sembab. Takjub. Lalu aku terkenang pikiran Copernicus, menajam ke teori Galileo Galilei: Bukan bumi sebagai pusat semesta. Bersama planet lain, bumi mengitari matahari.
Sepuluh milyar tahun lalu… ya, sepuluh milyar tahun lalu… debu kosmis mengental menjadi galaksi Bimasakti. Salah satu dari milyaran gugusan debu kosmis yang mengental itu dinamai bumi, dan sebuah bintang kuning di antaranya disebut matahari. Di tengah buana raya mahaluas, bumi eksis sebagai sebuah titik: hanya sebuah titik, Kawan! Di situlah – di titik itu – aku, kau dan kita berada laksana mikroba. Betapa kecil dan naïf kita di tengah bentangan mahaluas ini. Lalu, adakah alasan kita berlaku sombong? Kita bukan siapa-siapa, dan tidak ada apa-apanya di tengah keluasan yang maha ini. Meminjam mitologi Yunani, kita hanyalah seorang Sisifus yang mendorong sebongkah batu besar dan berat ke puncak bukit melalui lereng mendaki. Baru saja sampai di puncak, batu kita terlepas dan menggelinding kembali ke kaki bukit, sehingga kita terpaksa turun, lalu kembali lagi menolak batu ke puncak. Begitu terus-menerus sepanjang zaman. Adakah kehidupan sebuah hukuman?
            Di langit, tiba-tiba melintas searak awan hitam. Sejenak menutup rembulan, dan dalam sejenak itu kami cemas: akankah hujan akan turun disertai petir dan halilintar? Kami mesti menaik sauh, menghidupkan mesin perahu lalu berkirap kembali ke pantai, nun di sana yang tak lagi tampak. Memancing hanyalah sebuah alasan untuk “bercinta” dengan keluasan, sejenak keluar dari rutinitas “sisifus” menjemukan dan bertamasya di semesta raya – bukan mencari maut!
Baru saja aku ingin berseru agar sauh ditarik, bulan telah keluar dari kungkungan awan. Buana pandang kami kembali benderang. Lega terasa. Kembali aku menatap keluasan membentang dengan keheningan. Bahkan dengan kejernihan pikiran. Dan pula: airmata menderas gugur.  
            Ah, di benakku melintas penyair Hasan Aspahani! Aku terkenang bincang kami beberapa waktu lalu seputar semesta dan Tuhan. “Di tengah kemahaluasan semesta, cuma di planet bumi sahajakah kehidupan?” Itulah pertanyaan kami yang tak terjawab. Dalam kitap suci agama apapun tak pernah kami temukan pernyataan Tuhan tentang adanya kehidupan di planet lain sebagaimana di bumi. “Alangkah istimewanya bumi!” takjubku. “Atau Tuhan merasa tak perlu memberi tahu manusia tentang segala sesuatu kehidupan yang Ia ciptakan di luar planet Bumi?” tebak Hasan. “Atau karena kehidupan hanyalah sebuah kebetulan belaka?”   
            Dari Hasan, pikiranku meloncat ke teori Evolusi Darwin yang berdalil bahwa manusia adalah hewan setingkat lebih tinggi daripada makhluk keluarga beruk. Lalu pikiranku singgah ke analisis Freud yang dalam ungkapan Y.B. Mangunwijaya dikatakan, bukan hanya sebatas raga yang terdiri dari unsur kimia bio wadak, nabati dan hewani, struktur kejiwaan manusia pun masih berakar dalam di rawa-rawa bawah-sadar vegetatif maupun hewani. Di tengah sekian milyar dunia diam di alam semesta, menurut Mangunwijaya, manusia ibarat bunga teratai yang merasa menandingi burung cendrawasih: namun tiba-tiba malu karena tidak dapat mengibas-lepaskan lumpur tempat tumbuh akar-akarnya!
        Sisifus yang menggelinding batu ke puncak bukit hendaknya tidak diartikan sebagai hukuman belaka, tetapi dapat bermakna menantang Takdir, sesuatu yang kelihatan sia-sia, tetapi didorong oleh sebuah semangat: saya sanggup memikul beban hidup! Haruslah dibayangkan, ketika mendorong batu ke puncak bukit, lalu batu terlepas dan kembali menggelinding ke kaki bukit, terus mendorong lagi ke puncak bukit: Sisifus bahagia. Amat bahagia. Hidup dan kehidupan yang berawal kutukan, mesti dijalani dengan riang. Bukankah versi agama Ibrahimik [Jahudi, Nasrani, Islam], Adam dan Eva (Hawa) dibuang ke bumi juga sebagai bentuk hukuman karena melanggar pantang larang?
            Airmataku terus menderas seperti curahan air nira dari lengan mayang yang disayat sang penderas: siapalah aku si manusia kerdil ini! Kerut gelombang bagai menjawab: kaulah sang penantang itu, Kawan!
            Lalu, sayup-sayup aku teringat abstraksi pengetahuan yang kuserap ketika usiaku masih belasan tahun. Setelah kulit kerak bumi yang bersuhu 500 sampai 1.000 derajat celsius membeku, uapnya menjadi hujan lalu curah ke bumi sehingga terbentuklah samudera purba. Setelah samudera membentang bermilyar tahun, kehidupan berupa sel paling elementer mulai tumbuh dari lautan. Setelah menunggu lama sekali, akhirnya muncullah binatang-binatang paling sederhana seperti hewan laut lunak, polip koral, ikan-ikan, lalu disusul binatang-binatang ampibi, reptil, serangga dan sebagainya. Perlu waktu jutaan tahun untuk kemudian muncul pula jenis-jenis raksasa dinosaurus di laut dan di darat serta burung-burung gergasi bergigi melalui sebuah evolusi panjang. Setelah dinosaurus punah sekitar 65 juta tahun lalu, muncul binatang-binatang menyusui, termasuk makhluk yang menjadi nenek-moyang manusia. Menurut para ahli, makhluk yang terakhir ini perlu masa 2 juta tahun berevolusi dari homo habilis [manusia terampil] primitif menjadi homo sapiens [manusia bijak dan berkebudayaan] seperti sekarang ini.
            Ya, lebih kurang 2 juta tahun “para” Sisifus itu “mendorong” batu ke puncak bukit. Berevolusi dari homo habilis menjadi homo sapiens dalam upaya mencapai tingkat kesempurnaannya. Dan aku, kau, kita: kini berada pada puncak evolusi. Sejak era Copernicus [bermula sejak lebih kurang 500 tahun lalu] kita, homo sapiens itu, menegas diri sebagai sang penantang. Tidak lagi mendorong batu ke puncak bukit sebagai bentuk hukuman dari Sang Kuasa, tetapi sebuah keriangan. Ektasi seorang penantang yang menyukai sensasi tantangan – bahkan mengkritisi agama dan kepercayaan tradisional – dengan medium yang disebut intelegensi. Melalui intelegensi manusia menempatkan eksistensinya di atas makhluk lain, sekaligus mengukuhkan martabatnya sebagai ciptaan paling sempurna. Teilhard de Chardin, seorang paleontolog yang juga filsuf berkebangsaan Prancis, dengan elok bedelau mendefinisikan periodisasi intelegensi itu sebagai berikut:
            “Pertama, suatu kurun waktu serba gelap yang dapat dianggap mati tetapi sebenarnya “berjiwa tanpa tampak”; kedua, berkembang menjadi virus serba kompleks yang terdiri dari jutaan atom, lalu datanglah semacam fajar dini merah yang mewartakan awal kehidupan; ketiga, virus-virus lalu membentuk sel-sel sebagai suatu fajar yang terang; keempat, sel-sel itu semakin hidup dan kian kaya dalam susunannya, dan terkonsentrasilah sistem-sistem saraf; kelima, pada ujung paling lanjut dari spektrum kehidupan, otak yang berpikir menyala bagaikan matahari cemerlang.”
            Kun fayakun: jadi maka jadilah ia. “Semua unsur bergerak melayani satu keutuhan,” gumamku sembari menatap buana luas membentang. Airmataku terus menderas. “Haruslah dibayangkan Sisifus bahagia menjalani “kutukan”, sehingga hidup mewujud sebagai keriangan,” desahku.
Sementara di horizon sebelah timur, menerawang cahaya jingga, pertanda sang fajar menggeliatkan pagi. Teman-temanku berteriak riang, “Bravo kehidupan! Kita pulang!” Dan kami pun menaik sauh, menghidupkan mesin. Lunas perahu kami terkantuk-kantuk membidas kerut gelombang meneroka arah pulang. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar