Senin, 10 Oktober 2011

KEMANA KAU MENGHALA

Puisi Syaukani Al Karim


Akulah tebing yang menggilai suara deburmu, 
bermusim-musim kecewa aku menanti kabar dari jilatan riak, 
tapi buih yang sampai hanya mengabarkan kisah: 
ombak telah menjalin kasih dengan angin di sempadan hatiku yang ingin. 

“Kapankah dapat kuhanyutkan sesaji rindu, 
badai mengaburkan tuju, 
sedang waktu-waktu pasang yang menghempas 
tak pernah mengirimkan isyarat.” 

Kau masih saja bertahan sebagai laut, 
saban hari melukis kaki langit dengan garis yang berbeda, 
menggoreskan dawat-dawat harapan dengan kuas rindu yang gagap: 
membuat coretan-coretan yang tak dapat kuterjemahkan dengan sekedar tatapan 

Engkau terus menjelma jadi laut, 
kian menyamudera, 
dan perahu kecilku yang berlayar mengirim tanda tak dapat menyembulkan api. 
Badai dan gunung gelombang menggulungnya ke dasar yang paling purba, 
dan kita tak dapat bertukar isyarat, 
meski dengan segaris cahaya. 

Di laut mana lagi aku mesti menunggu, 
jika di setiap tebing pedih menating, 
pada kakilangit manakah harus kuletakkan impian 
jika setiap garis yang terlukis hanya menawarkan tangis. 

“Ketika senja datang dengan lembayung memerah, 
ketika cericit camar bersahutan dengan gemuruh gelombang, 
ketika itulah kuantar isyarat tanpa syarat,” katamu 

Tapi sudah tak terbilang luas laut yang kutimang, 
entah berapa dasar yang kujelang mengenangkan kenang, 
namun tuju pergimu hanya menyisakan arah 
yang mati pada tiap janji 

Entah berapa palung yang sudah kuarung, 
tak terhitung tanjung yang dikunjung, 
namun pada daun-daun bakau yang gugur hanya kutemukan sigau yang siur, 
dan pada jalan setapak tempat citra pernah berjejak, 
telah kering ditimpa panas 
yang lebih membahang dari sekedar seabad kemarau 

Entah berapa teluk yang telah diseluk, 
sudah tak terbaca samudera yang kupeta. 
Detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, 
dan tahun-tahun perjalanan 
membibitkan kepedihan yang lebih luas dari hamparan kesunyian 

Oh, kemanakah kau menghala, 
aku sudah mencarimu di lorong-lorong kasih yang putih, 
di ruang-ruang sayang yang membentang, 
di rumah cinta yang purna, 
tapi kelebatmu menggelap tak terbaca. 
Aku seperti seorang kelana yang berjauh dari segenap kampung 

Kemanakah kau menghala, 
aku telah mencarimu di tapak-tapak pertemuan kenangan, 
di rumah-rumah sejarah yang bersepah sumpah, 
di peta-peta kusam yang kau lukis dengan tangis, 
tapi tak terbekas langkahmu yang tegas. 
Kau seperti bingkas dari jerat tangkas yang pungkas, 
hilang lenyap ditelan keluasan sang senyap 

Ke manakah kau menghala, 
aroma rindu yang pernah kau sebarkan kian mewangi dalam diri, 
singgah tak tersanggah di hatiku yang gundah. 
Wahai, ke manakah kau menghala, 
aku telah mengirim beribu pesan pada setiap dermaga, 
tapi dermaga menjawabnya dengan sepi 
“Tak ada tali yang menambat diri, selain sunyi yang bahri.” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar