Jumat, 14 Oktober 2011

Syamsul Bunuh Diri

Cerpen Syamsul Bahri Judin

Judul berita ini menarik perhatianku. Bola mataku bak melompat dari sarangnya, tapi untung tertahan oleh kacamamataku yang tebal. Tanganku cepar bergerak merampas koran pagi yang terbit di kota kediamanku yang telah memuat berita itu. Anakku kubentak: “Berita ini jangan kau baca!” Mega yang baru saja menerima koran itu dari loper terkejut. Tangannya gemetar, matanya melebar bagai melihat bom tiba-tiba meledak di hadapannya.
Tapi Mega telah membaca judul berita itu. Sekilas dapat kutangkap dari sinar matanya rasa heran yang dalam membaca kepal berita itu. Sebab orang diberita itu namanya sama dengan aku.
Ya, yang sebenarnya telah bunuh diri itu adalah aku. Rencana telah kususun demikian rapi bertahun-tahun lamanya sehingga tidak seorang pun juga mengetahuinya. Ternyata wartawan jahanm itu telah mencium rencana itu dan mengetahui peristiwa itu.
Sekarang aku hanya berharap semoga ia tidak memikirkan bahwa yang bunuh diri iru adalah Syamsul ayahnya, sebab banyak orang lain yang senama dengan itu. Sedang ayahnya sendiri hanya pergi dari rumah, merajuk karena hatinya terluka. Pada suatu kali pasti ia akan pulang.
Seperti biasa aku duduk di teras membaca berita itu. Telingaku kupasang baik-baik agar dapat mendengar bunyi berisik yang paling halus sekali pun, sebab mana tahu Mega putriku yang paling bungsu mencoba mengintip dari belakang. Anak yang masih duduk di kelas I SMP itu memang cerdas dan rasa ingin tahunya cukup tinggi.
“Buset!” Aku membentak, seperti wartawan itu berada di hadapanku. “Berita kau ini sungguh fantastis dan sangan tendensius.”
Aku terkejut oleh suaraku sendiri, aku terperanjat dan tegak dari dudukku, melihat ke kanan-kiri, kalau ada yang melihat tingkah lakuku sendiri. Lalu lintas di hadapan rumah yang semakin ramai tidak menjadi perhatianku. Yang kucemaskan hanyalah, bila ada anggota keluargaku yang tiba-tiba muncul dari belakan atau samping rumah yang terlindung daun-daun pohon rambutan. Pada saat serupa ini mereka sibuk di dapur memasak dan mencuci, kemudian menjemurnya di ampaian di sebelah kiri rumah.
Aku duduk kembali, debar jantungku sudah normal sebab aku yakin keadaanku aman.
“Kalau berita itu tidak kususun demikian, bagaimana orang bisa menerima kau bunuh diri selain alasan frustasi. Jadi bunuh diri bukan semata-mata alasan normal dan hak individu yang masih perlu diperjuangkan.”
Wartawan itu melotot menantang mataku tajam-tajam, menjelaskan alasannya.
Aku mau bicara mencela pendiriannya, bahwa tidak ada satu alasan pun yang membenarkan orang untuk bunuh diri. Tetapi sebelum aku membuka mulut aku dengar suara ribut-ribut di belakang. Jelas, itu suara anak-anak dan istriku. Mereka menangis dan di sela-sela itu terdengar pekikan Mega: “Papa, Papa! Mengapa Papa bunuh diri?”
Aku berlari ke arah suara itu. Kulihat mereka saling berangkulan menangis, terhenyak di atas lantai dengan rambut terurai. Istriku tergolek tak sadarkan diri dan tak tentu akan kain. Aku mendekat, lalu mengambil koran yang rupanya sudah mereka baca. Aku betulkan kain istriku kemudian pergi dari situ.
Aku kembali ke teras, lalu pergi meninggalkan rumah.
***

Semula aku hanya mau pergi jauh. Kemana saja. Berkelana mengikuti suara hati yang hiba. Diam-diam aku meninggalkan rumah setelah sehari sebelumnya anak-istriku kucaci maki dengan segala macam kata-kata yang kasar dan kotor. Tetapi entah mengapa aku bertemu dengan suadara kembarku. Sebagai suadara kembar wajar kalau bentuk kami serupa dan sulit orang membedakannya, kecuali bila melihat wajah. Selain wajahnya buruk, otaknya sangat cerdas.
Biasa kalau aku sangat percaya padanya. Sambil bersamtai di mana saja kami saliing menceritakan riwayat diri sejak lama berpisah. Aku ceritakan, aku minggat dari rumah karena kecewa yang dalam terhadap anak dan istri. Aku merasa pendritaan yang kualami sejak kecil menjadi sia-sia, hanya karena aku merasa bahwa setelah pensiun, seperti sepeda tua tak lagi berguna kecuali untuk mengisi kolong dapur, dan akhirnya pasti dibuang ke luar pagar atau ke tempat sampah. Bawah sadarku berontak diperlakukan demikian. Walau sudah tua, akau merasa sanggup hidup sendiri. “Pergilah!” kata istriku, lalau tanpa pikir panjang lagi aku pun pergi.
Mula-mula aku ceritakan rahasia diriku yang sebenarnya merupakan aib dengan sikap malu-malu. Di luar dugaan sikapku mendapat rasa simpati dari sudara kembarku itu. Ia membenarkan sikap yang kuambil, bahkan pada sikap yang paling ekstrim sekali pun, yaitu bunuh diri.
“Bila seorang sudah merasa hidupnya tidak lagi berguna, maka perbuatan demikian adalah wajar,” katanya. Daripada menjadi parsit di dalam hidup, yaitu ketika kita tidak lagi berdaya untuk menghidupkan diri sendiri, hidup telah menjadi sia-sia, ketika itulah orang berkeinginan mati. Mati hak seseorang.   
“Adakah hak kita untuk mati?” aku menyela.
“Apa bedanya dengan hak untuk hidup? Itu tergantung pada rasa keadilan dalam diri seseorang.” Aku terperanjat mendengarkan pendapat saudara kembarku itu.
Aku tidak tahu apakah aku berada dalam keadaan normal ketika itu. Maksudku dari segi kejiwaan atau psikis. Tapi karena nalarnya masih kutangkap dengan jelas, aku yakin bahwa aku masih belum gila. Ketika itu memang ada kesadaran dalam diriku, bahwa hanya dua akibat yang ditimbul oleh rasa kecewa yang sangat dalam, yaitu kalau tidak gila, bunuh diri. Jadi gila dan bunuh diri sama statusnya dalam gejala kelainan jiwa.
Kebiasaanku yang selalu bersikap rasional tidak segera dapat menerima jalan pikiran sudara kembarku itu. Tapi kenyataan kehidupanku yang berlangsung kemudian, berangsur-angsur mengubah pendirianku. Walau dalam pergaulan kami selanjutnya, sebab kemana aku pergi ia selalu mengikuti aku seperti bayang-bayang, kami tidak lagi bicara mengenai itu, namun dalam diriku seperti virus yang kian merebak obsesi itu makin kuat juga.
Aku menjadi benci kepada saudara kembarku itu. Karena itu ia kuusir. Dalam keadaan teduh diriku menjadi tenang. Semangat hidupku timbul lagi. Tapi jalan tidak selalu lurus dan datar, sekali-kali berliku dan terjal. Cuaca tidak selalu teduh, kadang-kala panas dan terik. Ketika inilah aku memerlukan payung sebagai pelindung dikala berjalan atau api unggun untuk menghangatkan badan dari dekapam embun malam. Dalam keadaan serupa inilah, saudara kembarku selalu hadir memayungi atau menyelimuti badanku dari kelelahan.
“Kau tak bisa lepas dariku,” katanya. “Bila kau lepas berarti kau mati.”
“Aku benci padamu! Pergila!” kataku. “Bila kau ada aku selalu tergoda untuk bunuh diri. Karena itu pergilah kau, biarkan aku mati sendiri.”
“Baik! Bila kau mati ada aku yang mengabarkan kepada dunia. Adios!”
“Jadi kau juga wartawan?”
Pertanyaanku tidak dijawabnya karena ia sudah pergi.
Kepergian saudara kembarku menimbulkan kerinduan hendak pulang. Aku teringat masa kanak-kanak di kampung bersamanya. Terbayang olehku sungai tempat kami mandi. Ketika kecil aku pernah hanyut dan hampir mati. Tapi rumah ibu tempat kami dilahirkan dan dibesarkan sudah lama tidak ada, dan ibu pun sudah lama meninggal.
Tiba-tiba rindu kampung berubah menjadi rindu ibu. Aku rindu pulang ke rumahnya, yang telah dibawanya pergi ke alam baka. Aku kejar ia dan masuk ke liang itu.
“Mengapa kalian menangis?”
Ketika aku pulang setelah lama pergi. Ketemui istri dan anak-anakku berkumpul di ruang tengah. Istriku tersandar ke tembok, matanya merah. Mega sedang memegang koran, rupanya sedang membaca untuk ibu dan saudara-saudaranya yang lain. Aku terpandang pada judul karangan yang sedang dibacakan itu.
Mereka diam menatapku seperti tak percaya pada penglihatannya.
“itu bukan berita. Itu hanya sebuah cerita pendek yang kutulis. Kalian tentu tidak tahu, mengapa setelah ‘t u a’ aku menjadi penulis cerpen atau sajak. Sebab tak lain agar aku tidak jadi gila atau benar-benar bunuh diri.”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar