Rabu, 12 Oktober 2011

Ke Bukit Malawati Bersama Sri

Cerpen BM Syamsuddin

Recik sinar menggeliat lamban, berat sekali kelihatannya melepaskan tikaman akar hawa pohon pandan yang tumbuh berjejer di Pesisir Selat Melaka berlahan pantau Kuala Kelang. Laut teduh melinyang-linyang bulan Juni, tidak berombak sekernyit pun. Pantai Barat Selangor dengan lilitan pasir putih melajur tebing karang, bertebing di Morid dengan runtunan alun panjang menyorong pasang, gemulai seakan jemari perawatan betapa lenturnya. Riaknya bagai gamit-bergamit dengan deraian pasir putih, mengericik.
Kicau murai di tebing hutan lindung Natur Park yang melandai dari arah Bukit Malawati Permai, sahut-bersahutan dengan cekikikan camar karang sedang merebuti anak ikan kecil-kecil, bilis-balias berloncatan menyambar buih yang memutih keperak-perakkan dibias warna senja.
“Cekikik…kiak, cikikik…kiak, kiak-kiak-kiak…” suara unggas itu kedengaran sampai jauh, dan ia melayang-layang sampai ke gugus Carey Island. Sri terlalu asik memandang  ke sana, matanya tidak berkedip.”Hiyak,” gadis molek bertumbuh lampai dan berparas bujur  sipih itu melonjak kegirangan.
Wajahnya semakin ceria, tertawa dan tersenyum, seakan menghandalkan sepasang lesung pipitnya yang ranum ‘bak pauh di layang’.
Sebentar lagi matahri terbenam. Pesisir timur Sumatera seakan kumpulan selaksa tangan alam menggapai-gapai, sedang bersiap-siap meraup sisa-sisa siang penghujung senja. Warna langit kuning kemerah-merahan menyala dan bersiau-siau, sebagiannya terpecik pada layar perahu-perahu nelayan yangasik melaut. Tatkala menyadap senja itulah mereka bersenandung, berdendang dan berbondong.
“Selat Melaka lautnya tenang
Banyak berlabuh perahu Bugis
Hati yang duka jangan dikenang
Jika dikenang tentu menangis”
Sri setengah mendengarnya. Jemarinya yang lentik terus menduri landak, membentul-betulkan helaian rambut terjelai di keningnya karena dibelai angin pasat yang berhembus sepoi-sepoi basah. Kudekati dia, dan Sri memekarkan senyumnya.
“Sri,” kupanggil namanya dengan suara yang sejuk, “Sri Zuhara”, Kuteruskan namanya.
“Iya,” sahutnya lembut. Syahdu kedengarannya.
“Ehm, nama Sri memang Sri Zuhara.” Cekikikan sebentar, kemudian tersenyum lembut dengan bibir terkulum.
“Sinar bintang kejora, Zuhara,” kuduga-duga namanya tersirat nama makna kecermerlangan itu, “Zuhara Si Bintang Timur terbit seiring fajar merekah,” kataku sambil melirik wajahnya.
Agak tersipu, memerah wajahnya, tetapi terpancar rona kegembiraan pertanda ikhlas menerima pujianku itu. Dan akupun merasa semakin dekat padanya.
“Sri…”
“Ehm…”
“Sri Zuhara.”
“Iya,” matanya berpalis padaku, dan kami sama berpandang-pandangan.
“Bilakah Sri hendak pulang ke Johor Bahru?” agak gelagapan kutanya dia, sementara dalam hatiku sendiri paling tak suka bila perawan idaman itu lekas-lekas kembali ke negerinya itu.
“Tak senang Sri lama-lama di Selanggor, iya?” sengaja disingkap kain pelangi tertudung di kepalanya, sehingga rambut yang tadi terjelai selembar-dua di keningnya jadi merebak ke luar.
Harum semerbak baunya, terurai dari rambut dara yang sangat terpelihara. Angin pasat pulau menghantarkan bau wangi kembang pudak pandan pantai, dan dua tiga helai kelopak bunganya memekar putih di sana.
Kulirik wajah Sri Zuhara dengan pandangan tajam. Ekor mataku merayap-rayap hingga ke jantung-hati putri Johor Bahru kelahiran Kota Tinggi Sungai Bintan bersejarah, pada satu pertemuan sama berjumpa di Shah Alam Negeri Selangor Darul Ehsan.
“Ini kepentingan kita di bumi Melayu, Sri,” kubisiki dia.
Nyaris tak berkedip disapukan pandangan matanya ke wajahku, dan dara Melayu yang tak pernah melepaskan baju kurung kebanggaan, bertudung kepala lilitan selendang di lehernya yang jenjang itu mendesis. Halus sekali suaranya, tetapi kukira tidak demikian. Suara Sri yang teduh menyejukkan telingga itu, sedap didengar bagi siapapun tetap memuja-mujinya, apalagi tatkala mendengar Sri berucap dalam tiga bahasa dunia setidaknya, Inggris, Arab dan apalgi Melayu-Indonesia.
Ia perawan pujaan jejaka sekampung-kampung. Kutu kepustakaan, sopan perilakunya, putri Melayu idaman pembaharuan. Sri jangan dikira tidak sanggup merajai jalan raya, gadis jelita hidup terbiasa di belakang stir kendaraan roda empat. Namun jangan dikira pula Sri itu perempuan naif di dapur. Bingka Berendam, Hantu Kesuma dan Laman Sari, juadah hidangan bermajlispun mahir dibikinnya. Apalagi menyulam, menekat dan merenda sudah merupakan pekerjaan kesehariannya, kerajinan dijadikan perintang-rintang waktu.
***

Sri Zuhara memang baru sepekan berhimpun di Selangor Darul Ehsan, tapi kami sudah berkenalan sejak lama. Dua tahun yang lalu dalam suatu pertemuan masyarakat tiga nusa, Singapur, Johor dan Riau. Keakraban semakin terasa tatkala bersama-sama terlibat aktif dalam festival seni-budaya Melayu Asia Pasifik yang ketika itu bertempat di Tanjungpinang, Pulau Bintan. Setahun yang lalu, dengan tidak disadari bertemu di pelantaran museum Shah Alam, Negeri Selangor, seperti juga hari ini.
“Hei,” suara halus yang pernah kudengar dahulu, berdesir di telinga.
“Hei,” kembali senyuman tipis yang bibirnya basah bagaikan bergetah, menyapa hormat dengan ramah.
“Abang lupakan Sri?” jebaknya.
:Eh,” langit biru di atas Shah Alam mulai berbintang di waktu malam, seakan bergelinggang dan air Tasik Raja Lumu di lembah hijau rasanya terhayak karena dikejutkan oleh suatu pertemuan sungguh diluar dugaan itu.
Aku cuma mengangguk dan bisu. Wajah rembulan sehari akan purnama, sekeping tergenang dalam tasik yang bayang-bayangan bersentuhan dengan bayangan Kubah Mesjid Sultan Salahuddin Abdul Aziz Shah berbinar-binar menyerang pelopak mata.
Kitab antropologi yang semula kubaca di bawah sinar lampu mercury, gemetaran di tangan. Aku terpaksa menguat-kuasakan nyali diri, tengadah dan gelagapan menyahut, “Sri, engkau datang juga dalam pertemuan hari sastra ini?” Kataku padanya asalkan bercakap saja. Gugup luar biasa.
“Abang,” Sri Zuhara yang tertegak di balik rerimbun tanaman pardu di halaman museum bersebelahan perpustakaan Shah Alam, dengan ujung selendang pelangi pakaian khas Melayu-nya, diseka-seka matanya, “Abang telah melupakan Sri, lupa segala khazanah dan peradaban Melayu di bumi ini,” dara bertudung kepala kain pelangi itu, terisak-isak. Dadanya tergoncang-goncang, entah mengapa ia yang berwajah ceria itu jadi bermurung durja?
“Sri Zuhara,” kukerling wajahnya, kemudian kupandang ranum.
“Abang,” kata-kata tersendat kedengaran gundah.
Terlalu sukar untuk kuraba-raba masalahnya, mengapa perempuan Melayu telah menapak Melayu-Baru itu bersedih nestapa? “Ada apa Sri?”
Pertanyaan itu setahun yang lalu, di pelataran museum  Shah Alam dan bukan seperti suasana pangkal malam di bukit Melawati saat ini.
“Buuur…” debar laut membahana pantai Selat Melaka, gaduhnya terdengar membelah-belah insang telinga. “Buuur…” tandanya pasang mengasak ke tepi, dan bersamaan dengan getar alam itu pula Sri berkata lembut dengan napasnya yang sejuk tidak ada gejala berbungkus perasaan duka.
“Abang ingat setahu yang lalu, di Selangor Darul Ehsan ini juga kita terpisah?” ia tersenyum.
“Iya, stahun yang lalu,” kujebak keterangan yang misteri, dahulu tidak kuketahui sama sekali. “Mengapa Sri berurai air mata ketika kite berjumpa di Museum Shah Alam. Eh, di pelantaran rumput hijau, antara museum dan perpustakaan Shah Alam dahulu?”
“Inilah saatnya, di Bukit Malawati ini Sri kisahkan,” tukasnya.
Berujarlah Sri. “Ehm…Sri Zuhara sang Cahaya Bintang Timur.”
“Abang terlalu memuja-muji!”
“Sosok perempuan Melayu baru, kulihat pas pada engkau, Sri!”
“Ehm,” dia mengerinyitkan keningnya, mengenang sesuatu.
Setelah mengirimkan senyumannya yang lembut, sebelum sisa sinar matahari terakhir memudar seluruhnya. Berujarlah Sri Zuhara seraya meruah misteri kegundah-gulananya telah berlalu.
“Yang Sri gundahkan ketika itu, kitab antropologi terbuka di tangan abang,” ia membetulkan lilitan kain selendang yang melilit leher sekaligus menudungi kepalanya. Setelah dirasa segalanya usai, ia meneruskan kata-katanya, yang sempat terhenti tadi.
“Sementara kitab antropologi asyik abang bacakan, Sri melihat selingkuhan sejarah tradisi kita,” jelas Sri Zuhara lagi.
“Ada gejala-gejala pada bangsa kita di bumi Melayu ini… Melayu lepas, Eropa tak sampai.”
“Sri!” Aku benar-benar terkejut.
“Jangan abang terkejut dan itulah misteri gundah-gulananya Sri sehingga menangis di hadapan abang. Rhm, memang Sri lemparkan sedu-sedan Sri kehadapan abang… karena abang telah Sri maklumi, benar-benar mengerti dengan pikiran, perkataan dan perbuatan Sri.”
“Iyah… memang Sri, gemerlap bintang Timur pembaharuan perempuan Melayu dewasa ini. Dan Maaf Sri, pada sisi itulah aku mencintaimu.”
***

Sri Zuhara siang berikutnya sejak pagi-pagi benar dalam istirahat kami, kuajak lagi ke Bukit Malawati brsejarah, dahulu bukit kecil terdedah ke laut Selat Melaka itu dijadikan tugu meriam Sultan Ibrahim, Sultan Selangor kedua, putra Raja Lumu gelar Sultan Salahuddin dalam abad kedelapan belas. Kenanganku melekat pula di situ, karena merupakan benang merah sejarah Riau dan Selangor dalam perang melawan kompeni Belanda. Serangan melimpuhkan kota Melaka di bawah government, gerakan Raja Ali Haji Fisabilillah mendapat bantuan luar biasa dari Sultan Ibrahim anak-kemanakan yang Dipertuan Muda Riau ke empat itu.
Semangat kesatuan itu akan kuceritakan panjang-lebar kepada Sri, perempuan Melayu pembaharuan yang berinjak kepada akhir budaya tradisional, tetapi berwawasan pikiran internasional. “Padamu Sri, abang titipkan rasa cinta dan sumpah setia itu,” pagi-pagi benar kubisiki ke telinga Sri Zuhara tatkala untuk kesekian kalinya, dara pustakawan ini kuajak berkelahi ke Bukit Malawati seperti juga pada pagi hari ini.
Matahari pagi pun menggeliat, menancapkan sinarnya dari arah Sungai Water Fals, sedang langit bersih tidak tidak berawan. Entah berapa kali merasa gerah terpecik sinar beruap laut kala itu. Sri Zuhara kembali menangis tersedu-sedu di sampingku. Sekali lagi dugaanku meleset. Jika dahulu dara pesolek, bersari wajah menawan itu menangis tersedu-sedu kukira berbekal seberkas perasaan cemburu merupakan senjata ampuh kaum hawa karena terlalu cintanya padaku, nyatanya ia gulana melihat petaka Melayu yang terlepas tradisi, sementara budaya Barat tidak sampai ke puncak. Kali ini kukira Sri menangis berurai air mata karena tersengat panas matahari, namun dia mersa iba, rasa setia bersatu seperti tradisi sejarah Melayu masa lampau, kini lebur dalam kenaifan manusia dalam kadar nafsu-nafsu.
“Abang salah, Sri…” kubujuk-bujuk dia.
Musik alam pun berlagu siang di Selat Melaka, mederu dan gemeruntum, “Buur… ssss cekikik, buuur…’ resah gelisah. Buih air laut pun terurai dari sebuah aquarium samudera luas, debar laut membahana.
Bukit Malawati bukanlah sekadar sisi Selangor yang patut dijadikan sudut pelancongan, melainkan simbol warna-warni benang sejarah patut dikenang zaman.
“Bukit Malawati memang indah,” desis Sri Zuhara sayu. “Namun kesan sejarah tradisi ditinggalkannya mengatasi segala keindahan. Oh, sukanya memilih lagi bakti perempuan Melayu baru,” katanya dalam sedu-sedan, antara harapan dan kecemasan.
“Tetapi bersosok Melayu baru inilah sayang…segalanya,” bisikku di telinganya, nyaris tak berjarak selapis kulit bawang sekali pun.
“Ah, abang…” Sri menggeliat di batu cadas sampingku. “Sri dalam hal begini, cuma tahu menangis abang… hendak menangis sejadi-jadinya.”
Aku memang ingat betul dia, hanya menangis, walauku larang. “Menjadi perempuan Melayu baru, tak elok menangis sayang…” kataku.
Namun Sri semakin menangis sejadi-jadinya. Tanpa memperdulikan tegus sapaku lagi. Entah ia sedih, entahpun juga ketakutan. Entahlah, Sri gusar kehilangan tradisi budaya yang masih dimilikinya sekarang.
Matahari yang mengejar semakin memancar siang di langit Shah Alam, seakan mengirimkan selaksa pijar ke ubun-ubun Sri Zuhara. Si Cahaya Bintang Timur dia yang semula menjelma perempuan Melayu berwajah molek, sehari bulan akan penuh sari-wajahnya yang sesuai pertumbuhan tubuhnya yang rincing semampai tetapi padat berisi sebagaimana dilengkapi Allah SWT akan segala kesempurnaan itu, kini pahamlah aku seketika. Memang amatlah percuma melukiskan sari wajah Sri yang betapa cabtik-molek brsinar-sinar, di saat harapan dan ketakutannya bergumul-gumul lalau menghilang seperti kabut. Kengerian demi kengerian, Melayu terlepas sementara Eropa tak sampai. Semua bergelut dan berpacu pada parasnya yang menawan, dan di situlah tergambar trauma maha dalam.

(Diambil dari buku Anugrah Sagang 2000, Kumpulan Cerita Pendek dan Puisi)
    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar