Kamis, 13 Oktober 2011

Nyanyian Wangkang

Puisi Ediruslan Pa Amanriza

1
Dalam suatu pelayaran dari utara
Sebuah wangkang tersadai
Dihempas badai
Terkatung-katung berhari-hari
Di pesisir pulau yang sepi
Entah malam ke berapa
Seorang pelaut bermimpi
Dewa Laut datang
Menunjukkan jazirah yang mereka cari

Mereka berdebat berhari-hari
Ada yang percaya banyak yang tidak
Karena tak ada yang pandai menafsirkan mimpi
Mereka bertanya ke Dewa Api
Dengan membakar wangkang dan sekoci

Wangkang dikisar menghadapat matahari
Layar di kembang di tiang tinggi menjulang
panji-panji dipasang pada tali temali
Wangkang nampak semarak
Siap mengarungi lautan mimpi
Pelaut-pelaut cina itu tegak melingkar
Di gigir pantai yang sepi
Masing-masing memegang api

Seorang Saikong tua berjubah merah
Berdiri di depan memegang cemeti dan lonceng api
Cemetinya bertangkai tanduk
Hulunya berukir naga bertangkap
Jubahnya longgar dan dalam
Tepinya mencecah ke lumpur pantai

Setelah membaca doa
Dia melecutkan cemetinya ke langit
Suaranya seperti lautan api
Terasa pedih di hati

Dengan mudah
Ujung cemeti itu ditangkapnya kembali
Pelaut-pelaut cina itu terdiam
Merekan hanya mendengar desah nafas masing-masing

Tiba-tiba ada suara tinggi melengking
Bagai sebilah pedang tajam menebas gendang telingga

Perlahan-lahan suara itu lenyap ditelan gemuruh laut yang jauh
Lalu lengking jeritan itu terdengar kembali

Saikong tua memandang ke laut yang jauh
Dia menjura beberapa kali
Pelaut-pelaut cina itu mengikutinya
Menjura beberapa kali
Saikong tua kemudian melafaskan doa
Bacaanya makin lama semakin jelas
Pelaut-pelaut cina itu mengikutinya
Makin lama semakin keras
Sambil menggerakkan kepala
Seperti ratib
Ke kiri ke kanan
Suara bacaan semakin meninggi
Kian gemuruh
Kian gengap gempita
Saikong tua melecutkan semetinya sekali lagi
Tarasa pedih di hati
Tarasa negilu di tulang
Menyibak darah di dada
Suara bacaan tiba-tiba berhenti

Lalu sunyi
Seakan ditelan bumi
Pesisir panti itu seakan mati
Tak ada desir angin
Tak ada debur ombak
Tak terdengar cicit burung laut
Sunyi

Saikong tua mengangkay dagunya
Mendongak ke langit yang tiada bertepi
Lalu menjura beberapa kali
Lonceng kecil di tangannya berbunyi
Pertanda Dewa Api mengiyakan
Pelaut-pelaut cina itu pun
Satu persatu
Melemparkan api di tangan
Ke dalam wangkang

Mereka menatap api
Marak menjilat wangkang
Menyilam garang
Meletup-letup bagai bunyi cance dan genderang
Seakan khotbah Dewa Api
Yang mereka iyakan sembari menjura
Sambil meminta
tampuk
Sambil meminta
tampuk
Wangkan itu kini hitam jadi arang
Tiang-tiangnya tumbang ke laut dan ke darat
Saikong berseru
Benar inilah jazirah yang kita cari
Seperti yang dikatakan Dewa Laut
Pelaut-pelaut itu bersorak gemuruh
Lalu mereka rambah hutan bakau dan berembang
Mereka arung air sedalam pinggang
Mereka bangun rumah
pelantar
dan jermal

Laut kembali bergelora
Menenggelamkan bangkai wangkang ke dasar samudra
Angin berhenbus kembali
Membawa suara cicit burung pantai
dan kulik elang pertanda pasang
Lalu terdengar suara gemuruh
Seperti seribu ekor kuda berlari dari laut yang jauh
Burung bangau pun terbang
Meninggalkan beting-beting lumpur yang hilang
Ditelan pasang

2
Aku melihat badai di selat
Laut yang dahulunya tenang
Tiba-tiba keini penuh amarah
Dikirimnya lidah gelombang pasang yang garang
Menjilat pantai
Daratan dan
Desa kami yang diam

Percikan debur ombaknya
Menghempas dendam hingga ke malam sepi
Hingga ke dalam mimpi
Hingga basah bantal cintaku yang kekal

Aku melihat ada roh yang bangkit
Dari berjuta-juta raga yang sakit
Sembari menadahkan tangan
Dalam bayangan cahaya bulan

Oh duka laut
Berdarah kembali
Kilatan pedang dendamnya
Seperti kayu
Semakin dekat ke api

3
Api unggun di pantai pun padam
Suara-suara roh yang terjaga terdiam
Asap yang mengepul dari sisa
Puntung yang hitam
Seakan terlihat seperti doa mereka
Memanjat awan
Dalam bayangan cahaya bulan

Bayangan cahaya bulan membiaskan gelap
Hutan-hutan bakau di pantai
Dari dalam sepinya ada berjuta suara mengerang
Meratapi raga mereka yang dibuai gelombang pasang
Lalu badai mengirimkan gerimis
Di tengah selat yang penuh amarah
Bagai air mata berjuta roh
Rindu akan laut yang teduh

4
Air pasang adalah berkah kampung kami
Datang dan naik bersama bulan
Surut dan mati bersama bulan

Ketika mendengar suara beno
Berlari dari laut yang jauh
Burung-burung bagau ke beting
Terbang bersempiaran
Ikan-ikan kecil
Temakul
Ketam
Menyuruk ke dalam lanyau
Selat dan sungai pun menggeliat
Seakan naga terjaga

Kehidupan pun seakan baru dimulai
Sampn-sampan nelayan
Tongkan atau wangkang
Toako atau cici
Tongkang besi
Sampan kotak
Dengan muatan sarat
Merapat dan
Bertolak

Gemuruh suara mereka
Carut marut
Sumpah seranah
Dalam bahasa Hok Kian
Tai Chu
Hai Lam dan
Melayu
Kulik elang
Suara lonceng
Sepeda atau beca
Semuanya memberi pertanda
Kampung kami terjaga

Air pasang adalah berkah kampung kami
Datang dan naik bersama bulan
Surut dan mati bersama bulan

Bila angin berhembus
Dari bangsal dan pelantar
Kau ciumlah bau samak
Rebus udang atau anyir ikan
Bau bumbu atau belacan
Aroma kampung kami yang silam



1996
(Gambar dari sagangonline)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar