Rabu, 19 Oktober 2011

Senja

Puisi Idrus Tintin

Seorang lelaki tua berjalan dalam gerimis. Waktu itu senja akhir tahun yang layu. Petang basah melengkung runduk menciumnya pada pipi. Bercermin pada genangan air nampak bekasnya warna kesumba.
Kita dapat melihatnya dengan menyingkapnya kain jendela ini sedikit. Karena kau mau lebih jelas, kubuka jendela besar-besar: derit engselnya menyebabkan ia menoleh ke sini.
Marilah kita tunggu ketukan di pintu. Marilah kita tunggu ia tiba. Biar kusediakan the secangkir lagi, dan tambahlah kue-kue, jangan yang ini, ya, yang lembut-lembut itu yang sesuai dengan kerentaannya.
“Selamat sore,” katanya.
“Selamt sore,’ jawab kita.
Gerimis di luar semakin tipis. Mega berbentuk kuda lewat di jendela, sempat mengigit pelangi dan membawanya lari. Gerimis pun habis. Detak detik jam menitik di atas meja.
“Hari sudah hampir gelap,” kata orang tua itu.
“Karena hujan,” kataku.
“Tidak,” katanya lagi, “hari sudah hampir malam.”
Aku bangkit memasang lampu. Teranya berwarna susu, mengusir remang ruangan dan hati kita.
Ia mengangkat cangkir ke bibir, mengesip manis air teh dan tinggalkan pahitnya dalam cangkir, dan berkata, “Kelahiran dimulai dengan tanggis, dan jalan tangis itu cukup panjang.”
Tinta malam telah mengecat kaca jendela. Selekeh jelaganya mengenai jendela.
Di ujung lorong ini tidak ada lampu, kata orang itu lagi. “Aku akan meraba-raba mencari rumahku. Tapi kita tak perlu takut pada gelap. Pada mulanya adalah gelap, lalu datang terang kemudian malap, dan akhirnya kita akan masuk kembali ke tempat asal. Sederhana dan tak terelakkan.”
Ia bangkit dan berkata, “Selamat Malam!”
Orang tua itu berjalan dalam malam. Ia melangkah tertatih-tatih menuju ke ujung lorong.





Idrus Tintin, lahir di Rengat, Riau, 10 November 1932. Penyair sekaligus tokoh teater di Riau ini, menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 14 Juli 2003 di usia 71 tahun.
Baca Selanjutnya... >>

Cik Mat

Cerpen Soeman HS

Cik Mat ini penduduk sebuah kampung, yang terletak di tepi sungai. Dan lazimlah pula orang yang diam di tepi sungai seperti itu, mandi, mencuci, mengambil air minum pun di sungai itu juga, bahkan sungai itu pun digunakan pula oleh orang kampung itu untuk tempat mencari rezeki. Tempat menjala, memancing dan membelat ikan.
Konon Cik Mat itu belum pernah kawin. Padahal umurnya sudah lanjut juga. Sudah mendekati empat puluh tahun. Patut disebut bujang lapuk, atau lebih elok disebut bujang tua. Terberita pula kabar angin, bual ular orang kampung, bahwa ia seorang yang tangkai jering, seorang kikir, lokek bukan main.
Pernah ia meminang anak gadis dara pingit sekampung itu. Oleh pihak wanita dimintanya uang antaran maskawin tiga puluh ribu rupiah. Uang antaran maskawin sebanyak itu menurut pikiran Cik Mat terlalu banyak. Mahal betul. Dan tak segan-segan ditawarnya sepuluh ribu rupiah. Tentu saja oleh pihak wanita tawaran Cik Mat itu dipandangnya memberi malu. Memberi aib orang saja. Pinangan pun batal, ditampik orang. Dan Cik Mat tetap jadi bujang tua juga.
Inilah salah satu kisah Cik Mat itu.
Di tepi sungai yang jernih bening, teduh berlinyang berliku ke barat, suak berkelok ke timur. Cik Mat duduk mencakung lurus. Bertengger di ujung kayu balak, sudah tak laku lagi dijual orang. Agak lapuk, timbul sedikit di muka air. Kokonnya milik toke A Kang. Di situ Cik Mat memegang pancing berjoran aur kuning, berkelar ukir lingkaran hitam. Pangkalnya bersimpai rotan tikus, ujungnya halus melentur-lentur.
Cik Mat berserapah, “Puah! Sambur bujang perambut, air pasang ke insang, air surut bawak ke perut, biar putus jangan rabut!”
Tiga yang sudah, empat dengan ini Cik Mat membaca mantrera sepah-serapah, menyentak joran menyentak tali. Tapi yang terkail naik ke atas, hanya umpan juga.
“Cih, sekali lagi. Sambut bujang perambut…”
Ehm.
Nun di seberang sana berenang mengigal-igal, berkecimpung menepuk air Dang Zainab, janda Cik Salam, sudah ditalak tiga. Tapi ingin bercinta buta.
Ehm.
Telah empat kali Cik Mat melayangkan pandang. Sudah sekian kali pula mata dikejab-kejib dilayangkan, dibesar di belalakkan, dikecil, disipitkan, direnung dipicingkan, tapi… rang seberang berkecimpung juga.
Sekali lagi Cik Mat menyentak pancing, maka tergaitlah terombang-ambing, di awang-awang seekor ikan putih berkilat-kilat, sepelempap kurang tiga jari.
“Ehm…a, terkait insang,” Cik Mat batuk berdehem. Sudah mendeheman melayang ke tepian seberang. Di bawah teduh pokok mangis, celah-celah bayang tunjang pandang.
Tapi kecimpung tidak bergema lagi. Yang berkecimpung telah mendarat, naik ke tebing di balik-balik semak pimping. Nun di bawah rambutan, bersela pohon durian, tampak Dang Zainab berjalan membelakang. Melenggok-lenggok, meliuk-liuk, tidak berpaling tidak menoleh. Tidak mengangguk, tidak melengos.
“Ai… terkait insang,” Cik Mat mendehem, mendehem-dehem. Pandang tak lurus lagi, juling silau matahari. “Di mana orang mengenal awak… nasib, nasib…”


Soeman HS., lahir di Bantantua, Bengkalis, Riau, tahun 1904. Beliau meninggal 8 Mei 1999 di rumahnya, Jalan Tangkubanperahu, Pekanbaru pada usia 95 tahun.


Baca Selanjutnya... >>

Sabtu, 15 Oktober 2011

Perjanjian denganmu, ya Allah

Puisi Dasri Al-Mubari

Mengapa menara yang kita dirikan?
bila kaki terhimpit pilarnya
mengapa bukan bangun kincir
sehingga riak telaga jadi samudra

kita terlanjur suka gemerlap neon
sedang kabelnya dibiarkan konslet di gedung
kota-kota adalah gugusan bintang
kita ciptakan dari hati yang kelam

belajarlah dengan bahasa daun
saat hening
bersahabat dengan angin
gunung
dan kerikil-kerikil telaga
burung pun bernyanyi
embun bersenggayut di reranting
belajarlah dengan bahasa daun
dari krisik gugur
terciptalah kehidupan baru


Semasa hidupnya Dasri Al-Mubari dikenal juga sebagai teaterawan Riau. Dengan ketunakannya mengasuh Sanggar Teater Bahtera UNRI. 
Baca Selanjutnya... >>

Jumat, 14 Oktober 2011

Syamsul Bunuh Diri

Cerpen Syamsul Bahri Judin

Judul berita ini menarik perhatianku. Bola mataku bak melompat dari sarangnya, tapi untung tertahan oleh kacamamataku yang tebal. Tanganku cepar bergerak merampas koran pagi yang terbit di kota kediamanku yang telah memuat berita itu. Anakku kubentak: “Berita ini jangan kau baca!” Mega yang baru saja menerima koran itu dari loper terkejut. Tangannya gemetar, matanya melebar bagai melihat bom tiba-tiba meledak di hadapannya.
Tapi Mega telah membaca judul berita itu. Sekilas dapat kutangkap dari sinar matanya rasa heran yang dalam membaca kepal berita itu. Sebab orang diberita itu namanya sama dengan aku.
Ya, yang sebenarnya telah bunuh diri itu adalah aku. Rencana telah kususun demikian rapi bertahun-tahun lamanya sehingga tidak seorang pun juga mengetahuinya. Ternyata wartawan jahanm itu telah mencium rencana itu dan mengetahui peristiwa itu.
Sekarang aku hanya berharap semoga ia tidak memikirkan bahwa yang bunuh diri iru adalah Syamsul ayahnya, sebab banyak orang lain yang senama dengan itu. Sedang ayahnya sendiri hanya pergi dari rumah, merajuk karena hatinya terluka. Pada suatu kali pasti ia akan pulang.
Seperti biasa aku duduk di teras membaca berita itu. Telingaku kupasang baik-baik agar dapat mendengar bunyi berisik yang paling halus sekali pun, sebab mana tahu Mega putriku yang paling bungsu mencoba mengintip dari belakang. Anak yang masih duduk di kelas I SMP itu memang cerdas dan rasa ingin tahunya cukup tinggi.
“Buset!” Aku membentak, seperti wartawan itu berada di hadapanku. “Berita kau ini sungguh fantastis dan sangan tendensius.”
Aku terkejut oleh suaraku sendiri, aku terperanjat dan tegak dari dudukku, melihat ke kanan-kiri, kalau ada yang melihat tingkah lakuku sendiri. Lalu lintas di hadapan rumah yang semakin ramai tidak menjadi perhatianku. Yang kucemaskan hanyalah, bila ada anggota keluargaku yang tiba-tiba muncul dari belakan atau samping rumah yang terlindung daun-daun pohon rambutan. Pada saat serupa ini mereka sibuk di dapur memasak dan mencuci, kemudian menjemurnya di ampaian di sebelah kiri rumah.
Aku duduk kembali, debar jantungku sudah normal sebab aku yakin keadaanku aman.
“Kalau berita itu tidak kususun demikian, bagaimana orang bisa menerima kau bunuh diri selain alasan frustasi. Jadi bunuh diri bukan semata-mata alasan normal dan hak individu yang masih perlu diperjuangkan.”
Wartawan itu melotot menantang mataku tajam-tajam, menjelaskan alasannya.
Aku mau bicara mencela pendiriannya, bahwa tidak ada satu alasan pun yang membenarkan orang untuk bunuh diri. Tetapi sebelum aku membuka mulut aku dengar suara ribut-ribut di belakang. Jelas, itu suara anak-anak dan istriku. Mereka menangis dan di sela-sela itu terdengar pekikan Mega: “Papa, Papa! Mengapa Papa bunuh diri?”
Aku berlari ke arah suara itu. Kulihat mereka saling berangkulan menangis, terhenyak di atas lantai dengan rambut terurai. Istriku tergolek tak sadarkan diri dan tak tentu akan kain. Aku mendekat, lalu mengambil koran yang rupanya sudah mereka baca. Aku betulkan kain istriku kemudian pergi dari situ.
Aku kembali ke teras, lalu pergi meninggalkan rumah.
***

Semula aku hanya mau pergi jauh. Kemana saja. Berkelana mengikuti suara hati yang hiba. Diam-diam aku meninggalkan rumah setelah sehari sebelumnya anak-istriku kucaci maki dengan segala macam kata-kata yang kasar dan kotor. Tetapi entah mengapa aku bertemu dengan suadara kembarku. Sebagai suadara kembar wajar kalau bentuk kami serupa dan sulit orang membedakannya, kecuali bila melihat wajah. Selain wajahnya buruk, otaknya sangat cerdas.
Biasa kalau aku sangat percaya padanya. Sambil bersamtai di mana saja kami saliing menceritakan riwayat diri sejak lama berpisah. Aku ceritakan, aku minggat dari rumah karena kecewa yang dalam terhadap anak dan istri. Aku merasa pendritaan yang kualami sejak kecil menjadi sia-sia, hanya karena aku merasa bahwa setelah pensiun, seperti sepeda tua tak lagi berguna kecuali untuk mengisi kolong dapur, dan akhirnya pasti dibuang ke luar pagar atau ke tempat sampah. Bawah sadarku berontak diperlakukan demikian. Walau sudah tua, akau merasa sanggup hidup sendiri. “Pergilah!” kata istriku, lalau tanpa pikir panjang lagi aku pun pergi.
Mula-mula aku ceritakan rahasia diriku yang sebenarnya merupakan aib dengan sikap malu-malu. Di luar dugaan sikapku mendapat rasa simpati dari sudara kembarku itu. Ia membenarkan sikap yang kuambil, bahkan pada sikap yang paling ekstrim sekali pun, yaitu bunuh diri.
“Bila seorang sudah merasa hidupnya tidak lagi berguna, maka perbuatan demikian adalah wajar,” katanya. Daripada menjadi parsit di dalam hidup, yaitu ketika kita tidak lagi berdaya untuk menghidupkan diri sendiri, hidup telah menjadi sia-sia, ketika itulah orang berkeinginan mati. Mati hak seseorang.   
“Adakah hak kita untuk mati?” aku menyela.
“Apa bedanya dengan hak untuk hidup? Itu tergantung pada rasa keadilan dalam diri seseorang.” Aku terperanjat mendengarkan pendapat saudara kembarku itu.
Aku tidak tahu apakah aku berada dalam keadaan normal ketika itu. Maksudku dari segi kejiwaan atau psikis. Tapi karena nalarnya masih kutangkap dengan jelas, aku yakin bahwa aku masih belum gila. Ketika itu memang ada kesadaran dalam diriku, bahwa hanya dua akibat yang ditimbul oleh rasa kecewa yang sangat dalam, yaitu kalau tidak gila, bunuh diri. Jadi gila dan bunuh diri sama statusnya dalam gejala kelainan jiwa.
Kebiasaanku yang selalu bersikap rasional tidak segera dapat menerima jalan pikiran sudara kembarku itu. Tapi kenyataan kehidupanku yang berlangsung kemudian, berangsur-angsur mengubah pendirianku. Walau dalam pergaulan kami selanjutnya, sebab kemana aku pergi ia selalu mengikuti aku seperti bayang-bayang, kami tidak lagi bicara mengenai itu, namun dalam diriku seperti virus yang kian merebak obsesi itu makin kuat juga.
Aku menjadi benci kepada saudara kembarku itu. Karena itu ia kuusir. Dalam keadaan teduh diriku menjadi tenang. Semangat hidupku timbul lagi. Tapi jalan tidak selalu lurus dan datar, sekali-kali berliku dan terjal. Cuaca tidak selalu teduh, kadang-kala panas dan terik. Ketika inilah aku memerlukan payung sebagai pelindung dikala berjalan atau api unggun untuk menghangatkan badan dari dekapam embun malam. Dalam keadaan serupa inilah, saudara kembarku selalu hadir memayungi atau menyelimuti badanku dari kelelahan.
“Kau tak bisa lepas dariku,” katanya. “Bila kau lepas berarti kau mati.”
“Aku benci padamu! Pergila!” kataku. “Bila kau ada aku selalu tergoda untuk bunuh diri. Karena itu pergilah kau, biarkan aku mati sendiri.”
“Baik! Bila kau mati ada aku yang mengabarkan kepada dunia. Adios!”
“Jadi kau juga wartawan?”
Pertanyaanku tidak dijawabnya karena ia sudah pergi.
Kepergian saudara kembarku menimbulkan kerinduan hendak pulang. Aku teringat masa kanak-kanak di kampung bersamanya. Terbayang olehku sungai tempat kami mandi. Ketika kecil aku pernah hanyut dan hampir mati. Tapi rumah ibu tempat kami dilahirkan dan dibesarkan sudah lama tidak ada, dan ibu pun sudah lama meninggal.
Tiba-tiba rindu kampung berubah menjadi rindu ibu. Aku rindu pulang ke rumahnya, yang telah dibawanya pergi ke alam baka. Aku kejar ia dan masuk ke liang itu.
“Mengapa kalian menangis?”
Ketika aku pulang setelah lama pergi. Ketemui istri dan anak-anakku berkumpul di ruang tengah. Istriku tersandar ke tembok, matanya merah. Mega sedang memegang koran, rupanya sedang membaca untuk ibu dan saudara-saudaranya yang lain. Aku terpandang pada judul karangan yang sedang dibacakan itu.
Mereka diam menatapku seperti tak percaya pada penglihatannya.
“itu bukan berita. Itu hanya sebuah cerita pendek yang kutulis. Kalian tentu tidak tahu, mengapa setelah ‘t u a’ aku menjadi penulis cerpen atau sajak. Sebab tak lain agar aku tidak jadi gila atau benar-benar bunuh diri.”



Baca Selanjutnya... >>

Sehelai Tikar Sembahyang

Cerpen Rus Abrus/Rustam S Abrus

Aku lelaki yang tak pernah berhasil dalam cinta. Istriku yang sekarang adalah hasil carian ayahku. Tapi ternyata, ia adalah istri yang setia, baik dan jujur. Aku amat sayang padanya. Bukan saja karena ia gemuk dengan mata yang bundar seperti matahari yang memancar-mancar tapi juga karena ia ternyata seorang istri yang bukan main suburnya.
Suatu hari ketika aku pulang dari kantor, kudapati ia tengah sibuk mengurus putra-putra kami. Demi ia melihat aku di pintu segera ia memburu dengan gembira.
-          Ada undangan, Kanda. Undangan kawin.
Aku menaruh tas di kursi.
-          Ini, Kanda. Coba Kanda lihat, kita pergi, ya Kanda? Aku membuka sampul undangan itu. Undangannya bagus sekali. Tentu orang kaya, pikirku.
-          Kanda! Kita pergi, ya? Kita pergi, Kanda. Kita mesti pergi. Mesti.
Di dalamnya, undangan itu dilipat lagi.
-          Dinda tak kenal orangnya, Kanda. Tapi kita diundang. Kepada Mas Rus dan Nyonya, tulisnya. Kita mesti pergi, Kanda. Rugi sekali kalau tidak.
Aku baca undangan itu. Perkawinan antara Rachmat dengan Maria Margaretha Wurdani. Dan aku tertunduk terhenyak.
-          Jadi juga ia kawin! terlompat dari mulutku.
-          Siapa dia, Kanda? Siapa? Ah, Kanda terangkan dong, Kanda, siapa dia itu. Dinda juga ingin tahu.
Di belakang terdengar anak kami yang kecil menangis.
-          Mammm, Mammmi, Mammmi! Teriaknya. Istriku lari ke belakang.
-          Iya, sayang, O… sayang! Mami di sini. Sayang, sayang…
Dan segera tangis anak kami kini diganti oleh dendangan istriku. Dan aku membelai-belai anak kami dan disertai cubitan di pipi ibunya.
-          Ah, Kanda.
-          Manis ibumu, iya nak?
-          Eh, Kanda. Siapa dia itu?
-          Kawanku.
-          Sudah lama Kanda kenal dia? Ceritakan, dong.
Kemudian terdengar lagi anak kami yang sulung.
-          Mami! Cebok mami…
-          Ah, tak perlulah Kanda ceritakan sama dinda. Pokonya kita nanti pergi. Katanya sambil menyerahkan anak yang kecil padaku, dan ia lari ke belakang.
Undangan itu kembali kuperhatikan. Dan dibawahnya ada tulisan tangan yang kukenal, tulisan Rahmat: Datang ya, Mas!
Anakku memukul undangan itu dengan tangan yang montok hingga undangan itu jatuh ke lantai. Istriku yang sudah kembali segera memungutnya.
-          Nakal, katanya sambil memukul kaki anak kami. Dan anak kami itu menangis sedih.
-          O… sayang. Sayang, aduuuuh… Mami tidak marah sayang. Dan ia mengambil anak kami itu dan mulailah ia mengayun-ayunkan bedannya yang gemuk disertai dengan dendangan.
Habis makan dan sembahyang, aku segera membaringkan diriku. Kemudian datang istriku segera pula membaringkan tubuhnya yang gemuk itu di sisiku.
-          Kanda! Kita pergi, bukan? Ya, Kanda, kita pergi bukan?
-          Tapi, Dinda…
-          Tapi apa, Kanda? Ah, Kanda, dinda sudah lama tak keluar. Sekali ini pasti kita keluar. Habis ini mungkin dinda tak keluar. Dan ia melirik perutnya yang mulai besar.
-          Tapi kado kita apa, Dinda? Sekarang kita sedang tidak beruang. Mendengar ini ia terdiam.
-          Jadi… dan kulihat matanya benar-benar mengandung air mata. Dan akhirnya air itu berjatuhan.
-          Bukan kanda tak mau pergi, Dinda. Kanda ingin sekali ke sana tapi kalau ke sana tak bawa kado, berat sekali, Dinda. Pengantin perempuan Kristen. Kado adalah kebiasaan. Jadi maaflah, Dinda…
Ia tak menyahut.
Dan aku jadi tak enak sekali. Aku kesal. Kesal pada diriku yang hanya jadi pegawai yang selalu kekurangan. Dan kesal pada Rahmat, kok pestanya di akhie bulan.
***

Aku kenal keduanya baik sekali, Rahmat dan Wurdani yang biasa dipanggil Denny. Rahmat adalah seorang pemuda yang tampan dan sopan. Serta Denny adalah seorang gadis yang mungil, lembut dan cerdas. Keduanya cocok. Pasangan dua insan yang sesuai. Dan aku tahu keduanya sudah lama bercinta. Hanya sayang, sayang sekali. Keduanya berlainan agama. Rachmat adalah seorang Islam yang alim dan Denny pemeluk Kristen yang teguh. Tapi di situ pula kuasa Tuhan yang tak dapat dibantah menemukan jodoh tiap umatnya.
Dik Rachmat dulu pernah datang kepadaku.
-          Mas, bagai mana baiknya saya ini, Mas? katanya gelisah.
-          Apanya, Dik?
-          Ah, masa Mas tak maklum. Soal aku dan Danny ini, Mas.
-          Baik buka? Kau orang yang selalu sukses, Dik. Aku kadang-kadang iri kata ku.
-          Soalnya bukan itu, Mas. soal cintanya sudah beres. Tapi, Mas. Cobalah Mas beri saya pandangan. Bagaimana hal ini sebaiknya?
-          Yah, kau sudah mengerti toh, Dik, tugasmu.
-          Tapi Mas, saya gagal. Ia tak mau melepas dirinya dari tanda salib itu.
-          Dan Adik?
-          Ah, Mas tahu sendiri toh? Aku takkan mengalahkan imanku dengan cinta ini, Mas. biar betapa beratnya. Biar betapa menderitanya.
Kami diam sebentar.
-          Aku sekarang ini terkatung-katung, Mas. aku merasa tersiksa. Begini terus-terusan, tanpa putusan yang jelas tentang akhirnya. Dan yang tampak satu-satunya adalah bayangan kabur, kami putuskan saja tali percintaan ini. Tapi ini juga tak mungkin. Tak bisa. Dan aku tak mau. Aku tak sampai hati menyiksa Denny yang begitu setia dan cinta kepadaku.
Ia bicara seperti meracau tak menentu dan memutar-mutar kepalanya. Aku terdiam. Ia juga terdiam menekur. Dan jadi bingung tak tentu apa yang harus kubicarakan.
-          Mas. Bagaimana kalau kami kawin saja, Mas? katanya tiba-tiba. Aku kini menatapnya.
-          Memang sebaiknya begitu, kataku dengan tak semuanya.
-          Tapi, Mas. Berilah aku pndangan, Mas. aku terdiam lagi.
Apa yang harus kuberikan? Aku tak lebih dari dia. Kalau akau memberikan suatu pandangan, tentu akan amat bersifat sentimentil dan objektif sekali. Malah tentu akan melarangnya kawin dengan gadis Kristen itu. Dan itu adalah suatu hal yang tak mungkin sama sekali mengingat pertalian cinta keduanya.
-          Mas, Denny bilang, bahwa orang tuanya mengizinkan aku kawin dengan dia, kalau aku sudah Kristen.
Aku terkejut. Dan melihat aku terkejut kulihat ia gugup.
-          Bagaimana, Mas?
Aku merasa wajib bicara dan kupaksa bicara.
-          Aku percaya kepadamu, Dik. Aku percaya katamu tadi, bahwa cinta harus dikorbankan buat iman.
Rachmat menekur.
-          Dik!
-          Ya, Mas?
-          Tak mungkin cinta itu dialih? Banyak, Dik, orang yang putus cinta, tapi lantas jadi sahabat baik dia.
-          Tak boleh jadi, Mas…
-          Tapi banyak toh, Dik, kawan-kawan kita. Aku tahu banyak antaranya yang menaruh perhatian padamu.
-          Mas. sudah kubilang berkali-kali kepada Mas. aku benci pada mereka. Aku benci. Kalau aku bergaul dengan mereka, aku merasa bergaul dengan orang tak beragama. Mereka mengaku Islam, tapi apa yang Islam mereka tak mengerti. Kelakukan mereka sama sekali tak sebagai orang Islam. Tanyalah mereka yang senbahyang. Berapa kali ia baca Quran dalam setahun?
Aku jadi diam.
-          Mas tahu hal itu. Kepalsuan itu. Islam mereka hanya tinggal fanatik yang sudah tak berisi sama sekali. Dan kita gagal memperbaiki mereka. Karena kita mereka kolot. Karena mereka menganggap segala sikap dan soal-soal ibadat itu kuno, Mas. Padahal mereka imanya mengaku Islam.
Dan Denny lain, Mas. ia Kristen. Orang kafir, tapi ia seorang yang berisi dengan keyakinan-keyakinan dan ia berada di jalan yang ditunjukan agamanya. Aku hormat padanya. Ia dapat memberi isi dan dorongan pada cita-cita hidupku. Rasa keagamaan yang mengalir di tubuhku turut membina rasa keagamaanku pula. Walau kami berlainan agama, tapi ia memberi isi ke dalam jiwaku.
Kami diam lagi.
-          Bagaimana, Mas? Baiknya?
Aku termangu-mangu.
-          Mas, aku menganggap Mas saudaraku. Berilah aku pandangan, Mas. kalau perlu marahilah aku. Ia mengharap sungguh-sungguh.
-          Bagi saya soal itu sangat berat, Dik. Tapai kalau orang itu ingin agar kau jadi Kristen tentu saja aku tidak setuju, Dik. Adik tentu maklum. Kita selama ini sama-sama berjuang, dan tiba-tiba saja aku kehilangan teman seperjuangan, tentu aku menyesal, Dik.
Ia mengangguk-mengangguk. Dan matanya merah. Kami sama-sama diam.
***

Rachmat adalah seorang yang ulet. Tiada istilah payah padanya. Dan ia seorang yang tabah. Aku tahu betapa besar cita-citanya buat oerganisasi kami. Organisasi pemuda yang berasas dan berpedoman Islam. Dan betapa pula marahnya pada kaum tua yang seolah-olah tak mau tahu soal pemuda-pemud seagamanya.
Aku tak bisa melupakan berapa ia menangis terisak-isak di bagasi sepedaku waktu kami kecil, waktu kami berdua menjalankan derma buat organisasi kami.
Di rumah seorang dokter yang kami tahu seorang yang suka ke masjid kami dibenak.
-          Saudara pemuda Islam, meminta-minta begini. Dan sama sekali tak tahu waktu. Waktu itu uang. Bikin malu. Sudah, datang besok saja.
-          Kami turun dari rumah itu. Dan Rachmat menangis.
-          Kita kecil-kecil begini mau disuruh apa?
Organisasi lain juga begitu kok. Tapi mereka dibantu dengan baik oleh kaum tuanya.
-          Ah, tak apa-apa toh, Dik.kita kerjakan bukan buat pribadi kita toh?
Kami sudah kebal dengan hal-hal yang semacam ini. Dan betapa iri kami pada organisasi pemuda golongan lain yang dapat bantuan baik sekali dari kaum tuanya.untuk resepsi kecil-kecilan saja pun mereka dapat bantuan sampai puluhan ribu. Dan kalau kami yang resepsi, maka itu adalah hasil kumpulan derma dari sen ke sen yang diberikan dengan mulut masam. Dan kami mengundang bapak-bapak kami yang tua itu dengan penuh hormat dan kami sediakan mereka kursi yang baik. Tapi resepsi itu resepsi kami. Dan kursi-kursi yang disediakan bagi beliau-beliau itu akan tetap kosong tak berisi sampai berjejer-jejer. Dan kalau beliau diminta memberi amanat, maka amanatnya hanya ditulis di atas kertas yang disuruh baca pada kami. Tak ada pimpinan.
***

Surat undangan itu masih di tanganku. Rachmat dengan Maria Margaretha Wurdani. Dan istriku yang gemuk masih menelungkup. Aku pun berusaha memejamkan mata. Tapi istriku tiba-tiba bangun.
-            Kanda. Yang laki-laki itu Islam?
-          Ya. Aku menggumam.
-          Jadi lain-lain agama? Aku menggumam lagi. Dan dalam hatiku mulai lagi curiga kalau ia mendesak terus. Tapi ia diam. Dan aku jadi agak tentram jadinya.
-          Jadi yang laki-laki itu Islam, Kanda?
-          Ya, jawabku. Dan aku tambah curiga.
-          O…, dan ia mengahadap tubuhnya padaku. Aku menunggu bicara selanjutnya dengan curiga terus.
-          Kanda.
-          Ya?
-          Jadi Kanda tak mau pergi ke sana hanya karena kado itu saja?
-          Ya, kataku lamban.
-          Adinda ada usul, Kanda, katanya.
Aku jadi heran.
-          Apa usulmu, Dinda?
-          Bagaimana kalau hadiah paman baru-baru ini kita jadikan kado?
-          Tikar sembahyang itu?
-          Ya, katanya gembira. Pengantin laki-lakinya itu kan Islam. Biar kita beri dia tikar sembahyang itu, biar dia tambah teguh imannya. Dan tikar itu permadaninya bagus, Kanda.
-          O ya! Bagus, Dinda. Usulmu bermutu, tukasku senang.
Dan istriku yang gemuk itu kini kelihatannya amat gembira.
-          Biar nanti dinda bungkus baik-baik.
-          Tapi, Dinda…
-          Tapi apa lagi, Kanda?
-          Kalau kita beri tikar sembahyang, itu hanya buat pengantin laki-lakinya. Kita harus memberikan yang dapat dipakai buat keduanya, Dinda.
Ia kelihatannya agak kecewa sekarang.
-          Ah, Kanda kan pokonya kita punya kado.
-          Tapi nanti kita dikatakan tak tahu etika, Dinda.
Dia diam dan kelihatannya kembali jadi kecewa sekali. Aku kini jadi takut sekali akan akibat-akibat yang mungkin timbul. Dia bangkit dan terus keluar kamar. Aku tinggal sendirian dalam kamar. Dan akau gelisah, kudengar istriku marah-marah. Aku bangkit dan terus keluar. Kudekati kamar mandi dimana istriku sedang mandi.
-          Dinda, lekaslah sedikit biar kita pergi ke pesta itu.
-          Ah, tak usahlah, katanya singkat.
-          Kita pergi Dinda, kita mesti pergi.
-          Tapi kita tak punya kado.
-          Biar kita bawa tikar itu.
-          Ah, nanti kita dibilang tidak tahu etika.
-          Tidak, tidak akan dibilang begitu.
Dia diam dan aku tahu bahwa sekarang sudah tidak ada lagi persoalan.
***

Aku sudah menunggu hampir setengah jam. Aku sudah lengkap berpakaian dengan jas, dasi dan kopiah.
-          Sudah hampir setengah tujuh, Dinda, seruku.
-          Sebentar dong, Kanda.
Istriku seperti juga wanita lainnya kalau berdandan masya Allah lamanya.
Tak lama kemudian dia keluar dan kegusaran menunggu terobati melihat dia berdandan cantik sekali.
-          Bagaimana, Kanda?
-          Bagus, bagus sekali.
Ia senyum dan meneliti dandannya.
-          Tapi warna biru tua ini kelihatannya hitam, Kanda. Nanti kita disangka berkabung.
-          Ah, tidak. Tak apa-apa.
-          Biar dinda tukar dulu, katanya sambil lari ke dalam kamar.
Aku duduk lagi dengan gelisah.
Sepuluh menit kemudian dia keluar lagi.
Dengan kebaya merah muda. Dan dia kelihatan betul-betul lebih cantik.
-          Sudah bagus, kataku sambil berdiri dengan maksud agar ia tak lagi meneliti.
-          Tapi setagen Dinda ini agak muncul, Kanda. Jelas sekali.
-          Tidak. Tidak. Sudah bagus sekali, sungguh.
-          Ah, tidak, Tukar sama zwanger bloush saja, katanya sambil lari ke dalam kamar.
Aku kembali menghempaskan diri ke kursi. Ditukar. Ditukar sama zwanger bloush itu berarti merombak semua. Sebab dia sekarang pakai kebaya dan batik. Sedang zwanger bloush itu gaun yang biasa dipakai orang-orang hamil.
Seperempat jam kemudian ia keluar pula dengan zwanger bloush kuning muda dengan lengan yang berkepak-kepak lebar. Istriku sungguh manis.
-          Ayolah sekarang, katanya.
Aku bangkit.
-          Tapi Kanda tak cocok pakai kopiah, kalau dinda pakai zwanger bloush, katanya.
Dan aku tak ingin ia menukar pakaiannya lagi agar cocok dengan kopiahku. Maka aku segera menanggalkan kopiahku.
-          Rambutnya disisir sedikit, Kanda.
Maka aku menyisir rambutku.
-          O… lihat mereka dulu, katanya sambil masuk ke ruang tengah. Ia menyiumi putra-putra kami. Aku juga memangku seorang di antaranya. Anak kami itu nakal menarik-narik dasiku.
-          Ai, ai Fatimah tak boleh nakal, ya? Nanti dasi ayah kotor, seru istriku.
-          Kalau ayah tak takut dasinya Fat. Cuma takut ibumu yang satu lagi itu marah, kataku sambil geguyon.
-          Biar istrimu sampai sepuluh tapi aku tetap pada ibuku ini. Bilang begitu nak, pada ayahmu.
Aku tak meneruskan geguyoni-ku karena melihat cahaya cemburu di mata istriku.
***

Waktu kami sampai pesta sudah ramai. Rachmat menunggu rupanya. Dan demi melihat aku datang, ia meninggalkan Denny sendirian untuk menyambutku.
-          Saya kira marah juga, takkan hadir, ia bicara agak muram.
-          O… aku datang, Dik.
Dan ia kukenalkan pada istriku. Dan selanjutnya seperti biasa mengucapkan selamat kepada kedua temanten itu.
-          Mas. Tak ada seorang famili pun yang hadir. Maslah satu-satunya, kata Rachmat.
-          Ah, kekasih. Kau beloh terus memikirkan itu, bujuk Denny.
Aku tak bisa bicara, apalagi istriku nampaknya bingung sekali.
Dan aku kira-kira bisa meraba-raba apa yang dipikirkan Rachmat. Tentu tak seorang famili pun yang setuju kalau begitu.
Pesta berlangsung dengan meriah. Dansa-dansa dan musik yang hangat sekali.
Istriku yang gemuk itu menjadi merah padam ketika diajak seorang tamu berdansa sambil mendelik padaku. Untung tamu itu segera tahu dan minta maaf pada kami.
Pesta itu bubar sudah larut malam dan aku yang ingin bicara dan berkelekar sama temanten baru itu sengaja keluar belakangan.
Rachmat kelihatan gembira sekali sekarang. Ia mengulurkan tangannya dengan wajah yang berseri.
-          Rupanya sudah kenal lama sama masnya, tapi kok tak pernah datang ke rumah? tanya istriku.
-          Tapi sekarang sudah kenal toh, mbak? kata Rachmat terkekeh-kekeh.  
-          Mas, apa nasehatnya? Tanya Denny pada ku.
Aku hanya tertawa.
-          Oh ya. Aku ingin tahu kadomu, Mas. Kulihat bungkusannya besar sekali, kata Rachmat sambil lari ke tumpukan kado di atas meja.
Kado itu dibawanya dengan muka yang berseri-seri di muka kami dan Denny.
Aku agak khawatir dan kulirik istriku juga begitu. Sedang mereka kelihatannya senang sekali.
-          Wah pasti hebat, tukas Denny. Bungkusan itu terbuka. Dan Rachmat mengurai lipatan dan hatiku berdebar-debar. Dan badanku tak karuan rasanya waktu melihat air muka Rachmat.
-          Nah, apa kubilang, bagus sekali, bukan? seru Denny girang.
Tapi ia juga jadi terpaku melihat muka Rachmat beserta airmata Rachmat berlinang. Aku tak tahu harus bicara apa. Dan Rachmat memelukku dan menangis tersedu-sedu.
-          Mas… Mas…
Aku tak bisa menjawab. Mulutku berat sekali.
-          Mas…, Aku sudah pindah jadi Kristen.
Aku merasa diriku terpelanting karena kaget. Akau rasa mataku berkunang-kunang. Kulihat Denny yang juga berubah jadi pucat serta istriku yang kebingungan. Sedang orang tua Denny kulihat terheran-heran di kejauhan.
-          Maaf, Dik… maaf. Aku tidak tahu, Dik. Aku tidak tahu… Dengan kaku aku minta diri bersama istriku.


(Rus Abrus adalah nama pena Rustam S Abrus. Di masa hidupnya, beliau pernah menjabat sebagai Wakil Gubernur Provinsi Riau. Beliau termasuk sastrawan Riau yang sangat produktif menulis pada tahun 1950, 1960 an. Cerpen ini, disalin dari Kumpulan Cerpen dan Puisi Sagang, tahun 1996)




Baca Selanjutnya... >>