Rabu, 19 Oktober 2011

Cik Mat

Cerpen Soeman HS

Cik Mat ini penduduk sebuah kampung, yang terletak di tepi sungai. Dan lazimlah pula orang yang diam di tepi sungai seperti itu, mandi, mencuci, mengambil air minum pun di sungai itu juga, bahkan sungai itu pun digunakan pula oleh orang kampung itu untuk tempat mencari rezeki. Tempat menjala, memancing dan membelat ikan.
Konon Cik Mat itu belum pernah kawin. Padahal umurnya sudah lanjut juga. Sudah mendekati empat puluh tahun. Patut disebut bujang lapuk, atau lebih elok disebut bujang tua. Terberita pula kabar angin, bual ular orang kampung, bahwa ia seorang yang tangkai jering, seorang kikir, lokek bukan main.
Pernah ia meminang anak gadis dara pingit sekampung itu. Oleh pihak wanita dimintanya uang antaran maskawin tiga puluh ribu rupiah. Uang antaran maskawin sebanyak itu menurut pikiran Cik Mat terlalu banyak. Mahal betul. Dan tak segan-segan ditawarnya sepuluh ribu rupiah. Tentu saja oleh pihak wanita tawaran Cik Mat itu dipandangnya memberi malu. Memberi aib orang saja. Pinangan pun batal, ditampik orang. Dan Cik Mat tetap jadi bujang tua juga.
Inilah salah satu kisah Cik Mat itu.
Di tepi sungai yang jernih bening, teduh berlinyang berliku ke barat, suak berkelok ke timur. Cik Mat duduk mencakung lurus. Bertengger di ujung kayu balak, sudah tak laku lagi dijual orang. Agak lapuk, timbul sedikit di muka air. Kokonnya milik toke A Kang. Di situ Cik Mat memegang pancing berjoran aur kuning, berkelar ukir lingkaran hitam. Pangkalnya bersimpai rotan tikus, ujungnya halus melentur-lentur.
Cik Mat berserapah, “Puah! Sambur bujang perambut, air pasang ke insang, air surut bawak ke perut, biar putus jangan rabut!”
Tiga yang sudah, empat dengan ini Cik Mat membaca mantrera sepah-serapah, menyentak joran menyentak tali. Tapi yang terkail naik ke atas, hanya umpan juga.
“Cih, sekali lagi. Sambut bujang perambut…”
Ehm.
Nun di seberang sana berenang mengigal-igal, berkecimpung menepuk air Dang Zainab, janda Cik Salam, sudah ditalak tiga. Tapi ingin bercinta buta.
Ehm.
Telah empat kali Cik Mat melayangkan pandang. Sudah sekian kali pula mata dikejab-kejib dilayangkan, dibesar di belalakkan, dikecil, disipitkan, direnung dipicingkan, tapi… rang seberang berkecimpung juga.
Sekali lagi Cik Mat menyentak pancing, maka tergaitlah terombang-ambing, di awang-awang seekor ikan putih berkilat-kilat, sepelempap kurang tiga jari.
“Ehm…a, terkait insang,” Cik Mat batuk berdehem. Sudah mendeheman melayang ke tepian seberang. Di bawah teduh pokok mangis, celah-celah bayang tunjang pandang.
Tapi kecimpung tidak bergema lagi. Yang berkecimpung telah mendarat, naik ke tebing di balik-balik semak pimping. Nun di bawah rambutan, bersela pohon durian, tampak Dang Zainab berjalan membelakang. Melenggok-lenggok, meliuk-liuk, tidak berpaling tidak menoleh. Tidak mengangguk, tidak melengos.
“Ai… terkait insang,” Cik Mat mendehem, mendehem-dehem. Pandang tak lurus lagi, juling silau matahari. “Di mana orang mengenal awak… nasib, nasib…”


Soeman HS., lahir di Bantantua, Bengkalis, Riau, tahun 1904. Beliau meninggal 8 Mei 1999 di rumahnya, Jalan Tangkubanperahu, Pekanbaru pada usia 95 tahun.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar